Kamis, 10 Desember 2015

Curug Bentang



Saya harus jujur berkata bahwa Tatar Sunda memang tak habis-habis dengan pesonanya, Tuhan sepertinya melukis Tatar Sunda dengan penuh seni. Kali ini pun saya dibuat kembali takjub oleh keindahan alam Tatar Sunda bagian utara, Subang. Di balik rimbun kebun-kebun teh terdapat air terjun yang indah dengan riuh gemericiknya yang gagah, air terjun itu dikenal dengan nama Curug Bentang.
Lokasinya memang belum banyak diketahui orang, agak tersembunyi. Adalah Dom, karib saya yang memberi tahu tentang keberadaan air terjun ini. Dengan semangat pula Dom menunjukkan tempatnya dan menjanjikan pada saya air terjun yang kata Dom adalah mutiara yang selama ini terpendam.
“Chan ini air terjun bener-bener indah, ga akan nyangka kalau ada di Subang.”
Demikian kata Dom, saat meyakinkan saya untuk turut bertualang menuju Curug Bentang.
Ciater pagi adalah tentang kabut yang merayap turun dengan pelan, kabut ini seiring hawa dingin yang menjadi selimut. Dom sudah bersiap sejak pagi buta, sementara saya dengan malas beranjak enggan.
“Dom, mending tidur deh, sumpah ini dingin banget.”
Dom hanya tergelak mendengar rengekan saya.
Dom tak ingin menghabiskan waktu, ia segera mengajak saya menyantap sarapan yang sudah disediakan oleh pihak penginapan. Matahari masih sembunyi di balik kabut, tampaknya menunggu hawa sedikit hangat barulah matahari tergerak menampakkan diri. Tampaknya ia khawatir karena kami berdua harus trekking dan Dom takut waktunya tidak akan cukup jika kami tak segera bergegas berangkat.
Dari Ciater mobil sewaan mengantarkan kami menuju Curug Bentang. Menembus beberapa bagian kebun teh yang menjadi penanda khas Ciater. Bentang kebun teh ini memang daya pikat Ciater sejak lama, perkebunan teh di Ciater sudah sejak era kolonial. Maka tak heran jika dari pinggiran jalan sampau sejauh mata memandang melulu kebun teh yang hijau.
Untuk menuju Curug Bentang kami harus menuju Sanca terlebih dahulu. Jalannya indah dan berkelak-kelok, semakin menuju curug daerahnya semakin sepi, dus medan jalannya pun beralih dari jalan rata menjadi jalan penuh gelombang. Suasana pedesaan di Subang makin tenang, rombongan makin menjauh dari titik wisata massal menuju keheningan.
“Sudah nyampe tempat parkir nih, setelah ini kita trekking sampai air terjun.”  Terang Dom.
Saya kira sudah sampai kawasan air terjun, rupanya belum. Kami berdua tiba di kawasan Hutan Adat Banceuy, lokasi yang menjadi pintu masuk menuju Curug Bentang. Daerah ini memang merupakan daerah adat, masyarakat di sini dikenal dengan nama Masyarakat Adat Banceuy. Dikatakan masyarakat adat ini adalah masyarakat yang pertama kali mendiami kawasan Desa Sanca ini. Penanda khas masyarakat ini adalah mereka mengenakan kain ikat di kepalanya.
Dahulu kawasan yang menjadi penanda jalur menuju Curug Bentang ini pernah didirikan pondok-pondok sederhana untuk wisatawan. Namun entah kenapa sekarang semua pondokan tersebut sudah hilang, tinggal puing-puingnya saja. Hanya ada satu pondokan dan satu balai-balai yang masih utuh dan tegak berdiri.
Dari titik mula perjalanan saya harus merambat turun, air terjun yang dituju berada di sebuah ceruk. Jika dilihat dari kejauhan tampaknya lokasi air terjun berada di antara batas perbukitan. Itu berarti, saya harus menuruni punggungan bukit sampai habis untuk sampai ke air terjun.
Jalan yang saya tuju turun melulu melalui hutann adat, sesekali bersua dengan sawah padi di tengah hutan. Suasana sejuk sekali sesekali terdengan cicit burung yang ramai, juga ditemani desau angin yang sesekali meniup dingin.
Sesekali saya berhenti untuk menikmati udara segar dan hembusan angin ini. Perlahan tapi pasti saya merayap menuruni punggungan bukit, Dom sudah jauh di depan sementara saya berjalan perlahan. Medannya sedikit curam dan tidak ada pengaman di sisi jalan setapak, saya tak mau ketika turun justru malah terperosok jatuh.
Sebelum berangkat Dom memang sudah memperingatkan bahwa turunan menuju Curug Bentang sedikit berbahaya. Ia menganjurkan saya membawa sepatu boot atau sendal gunung, sebelumnya Dom kepayahan saat menuju Curug Bentang, Ia hanya membawa sepatu sekadarnya yang licin dan selip saat dibawa sampai air terjun.
Beberapa waktu berjalan, lamat-lamat tampak air terjun dari kejauhan. Dom benar, air terjun indah nian.
Jika dilihat dari kejauhan, Curug Bentang adalah rangkaian air terjun. Terbagi menjadi 2 air terjun yang berurutan. Air terjun pertama membentuk kolam kecil yang kemudian mengalir ke air terjun kedua yang lebih besar. Sejauh ini akses yang bisa diakses barulah air terjun yang kedua, kecuali mau repot menerabas hutan dan menembus bukit untuk naik ke air terjun pertama yang lokasinya lebih ke arah hulu.
Lambat laun suara dentuman air makin terdengar, pertanda kami berdua segera sampai. Semakin mendekat ke arah air terjun kontur jalanan juga makin berubah makin landai. Jalan tanah pun berganti dengan rentetan jalur bebatuan.
Jalur ini rupanya juga menjadi jalur utama penduduk Kampung Sanca jika ingin ke hutan. Beberapa kali saya berjumpa dengan penduduk kampung yang pulang dari berladang atau mencari kayu bakar. Berbeda dengan saya yang berjalan lambat, mereka berjalan dengan cepat dan begitu tangkas. Saya bagaikan siput dan penduduk lokal adalah cheetah di jalur air terjun ini. Telapak kaki mereka lebar, dan betis mereka ramping, tanda tubuh mereka sudah beradaptasi, setiap hari naik turun melalui jalur ini.
“Chan cepet, sebentar lagi sampai Chan!” Dom berteriak-teriak dan melambai-lambaikan tangan.


Saya segera mempercepat langkah, beberapa kali nyaris tergelincir. Hawa sejuk semakin meniup=niup meminta saya segera mendekat ke air terjun. Di tengah terik panas mentari yang menyengat dan membuat badan banjir keringat, bayangan kesegaran air terjun memanggil kuat. Saya makin tak sabar ingin lekas sampai dan jika perlu langsung menceburkan diri.
Peluh dan langkah yang berat terbayar sudah begitu sampai di pinggiran air terjun.
Derasnya air membuat sekitar air terjun ini bak laguna biru, airnya jernih sekali. Kesegarannya langsung menandingi panas yang menggantang sepanjang perjalanan.
Nyatanya saya tak langsung menceburkan diri, kaki saya gemetaran karena tergempur lelah ketika menuruni punggungan bukit. Nafas saya pun sudah satu-satu kelelahan. Tapi semua terbayar dengan indahnya, birunya dan gagahnya deburan air Curug Bentang. Rasa lelah pun terbayar menikmati keindahan Curug Bentang.

Syahdan Curug Bentang adalah curug yang dikeramatkan oleh Masyarakat Adat Banceuy. Itulah mengapa mereka menjaga dengan benar keberadaan air terjun ini. Barangkali ini juga sistem kearifan lokal dari masyarakat untuk menjaga keberadaan dan menjamin ketersediaan air. Air terjun ini barangkali juga adalah sumber penghidupan bagi masyarakat adat.
Hawa sejuk, air terjun yang bening dan lingkungan yang asri benar-benar membuat Curug Bentang adalah oase yang menyegarkan. Ciater ternyata tak melulu soal air panas alami dan bentang kebun teh. Jika mau bertualang dan berjalan lebih jauh, ada rona keindahan lainnya yang tergurat di alam Subang.

Dom benar satu hal, air terjun ini memang indah, Curug Bentang adalah mutiara yang terpendam. Tapi saya lupa satu hal dan itu yang saya tanyakan pada Dom.
“Dom, ini berarti pulangnya berarti kita harus mendaki dan balik ke puncak bukit lagi?”
Dom hanya kembali tergelak dan saya pasrah melihat lemak di perut dan betis yang sudah kelelahan.
Tabik.
Lokasi Curug Bentang : Desa Sanca, Kecamatan Ciater, Kabupaten SUbang

Curug Malela





Curug Malela merupakan obyek wisata curug atau air terjun yang berlokasi di perbatasan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung bagian barat, lebih tepatnya di Kampung Manglid, Desa Cicadas, Kec. Rongga, Kab. Bandung Barat, Propinsi Jawa Barat. Curug Malela mempunyai ketinggian 60 sampai 70 meter serta lebar 50meter dengan hulu sungai yang berasal dari sebelah utara lereng Gunung Kendeng yang mengalir dan membentuk sebuah jaringan sungai Cidadap dan bermuara ke Cisokan. Aliran airnya sangatlah deras dan jika Anda sedang beruntung bisa menyaksikan ratusan ekor monyet yang berekor panjang (macaca pasciscularis) yang sedang minum air di lokasi dari jatuh nya Air Curug Malela.
Curug Malela memiliki keindahan alam yang sangat luar biasa. Namun, faktanya lokasi wisata ini begitu tidak familiar dengan warga setempat yang dekat dengan Curug Malela ini. Sehingga bila pengunjung pertama kali mengunjungi Curug Malela maka akan kesulitan untuk menemukan Curug yang memiliki keindahan alam luar biasa ini, kecuali pengunjung menanyakan ke para tukang ojek yang sekaligus akan mengantarkan pengujung sampai ke lokasi Curug Malela ini.
Jika debit air sedang deras maka akan terlihat kemegahannya yang mempesona, bahkan kalau dilihat dari kejauhan terkesan seperti benang-benang sutra halus. Disebelah kanan terlihat sebuah tebing yang cukup tinggi berwarna putih yang mengarah ke bawah. Ada kemungkinan bahwa dulunya dinding ini juga sebuah air terjun. Jika memang demikian, dapat dibayangkan betapa indah dan megahnya Curug Malela ini. Sebuah surga tersembunyi yang nyaris terisolir dari peradaban dan bagaikan harta karun yang belum digarap secara optimal.

Tempat wisata yang satu ini juga menyimpan berbagai macam misteri yang sulit dimengerti dan dipecahkan.  Kesunyian serta keterasingan air terjun di Bandung ini sepertinya yang  membuat sebuah misteri tersendiri yang unik. Selain itu bagi wisatawan yang baru datang ke tempat ini, penduduk biasanya hanya mengatakan ” Hati-hati di bawah “tanpa menjelaskan lebih jauh maksud dari pernyataan itu.

Akses/rute

Akses untuk menuju ke Curug Malela Ada sekitar dua jalur untuk bisa sampai ke Curug Malela, yaitu jalur melewati Sukabumi atau Cianjur, dan jalur dari Bandung atau Cimahi yang pada umumnya lebih banyak diambil karena lebih mudah.
Bagi anda yang berniat mengunjungi salah satu Tempat Wisata Di Bandung yang eksotis ini, berikut adalah rute jalan menuju kawasan wisata Curug Malela.
1.Menggunakan Kendaraan Pribadi
-Cimahi -> Batujajar -> Cihampelas -> Cililin -> Sindang Kerta -> Gunung Halu -> Buni Jaya -> Curug Malela
2.menggunakan Kendaraan Umum
-Terminal Leuwipanjang,Dari sini anda bisa naik angkot jurusan Cimahi/Cililin. Sampai di Cililin anda turun kemudian melanjutkan perjalanan dengan naik bus jurusan Gunung Halu/Buni Jaya. Sesampainya di Terminal Buni jaya, anda melanjutkan perjalanan dengan kendaraan berupa ojek menuju desa Cicadas. Setelah sampai di Cicadas, maka anda tinggal melanjutkan perjalanan ke lokasi Curug Malela dengan berjalan kaki.

Kawah Rengganis

Kawah Rengganis
Kawah Rengganis adalah kawah alam yang terbentuk dari proses alam jutaan tahun yang lalu. Dahulu kawah ini bernama Kawah Cibuni karena terletak di daerah Cibuni, tapi karena tempat ini sudah dikelola oleh agrowisata Rancabali maka tempat ini diubah menjadi Kawah Rengganis agar lebih kece, memiliki nilai jual dan keren.
Sedikit berbeda dengan saudaranya Kawah Putih Ciwidey yang memiliki kawah yang besar seperti danau dan airnya sering berubah-ubah sesuai waktu dan keadaan alam, Kawah Rengganis adalah kawah yang kecil dan banyak bebatuan besar. Dan ini dia foto saya saat berkunjung kesana.. (Harus dilampirkan foto karena takut di bilang hoax. Hahaa..)










 Namun yang membuatnya sangat unik adalah Kawah Rengganis ini lebih ramah karena bau belerang tidak terlalu menyengat dan membuat pusing, di sekeliling kawah ini juga terdapat hutan dan pepohonan yang hijau tak seperti di Kawah Putih yang terlihat sedikit gersang. Keunikan lainnya adalah Kawah Rengganis dibelah oleh air sungai yang jernih dan bercampur dengan mata air panas dan airnya bisa dipakai untuk mandi air hangat, berbeda kan dengan Kawah Putih yang airnya sangat asam (katanya sih paling asam dari kawah di dunia) dan ga bisa dipakai untuk mandi.
Eiitss tak hanya itu keunikannya, keunikan lainnya adalah adalah adanya geyser kecil atau mata air panas yang air semburannya menyembur ke atas dan uapnya cukup panas dan banyak, nahh uap inilah yang bisa dipakai untuk sauna alami. Dan keunikan lainnya adalah adanya lumpur hitam hangat yang dipakai untuk maskeran guys, lumpur ini berkhasiat untuk memperkencang dan menghaluskan kulit. Gimana keren dan manfaat banget kan Kawah Rengganis ini? Subahanallah yaa..
Nahh ini dia foto dari geyser kecil itu yang airnya sangat panas dan uapnya bisa dipakai untuk sauna alami..
Nihh dia kemarin coba-coba luluran disana pake lumpur hitam hangat dari Kawah Rengganis. Ga percaya lumpur punya khasiat buat kulit? Coba deh search sendiri di google guys. Hihii..

Alamat/Lokasi Kawah Rengganis
Kawah Rengganis ini terletak di Kecamatan Rancabali dan masuk ke komplek Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII). Kalau kamu pusing patokannya adalah Situ Patenggang, setelah melihat persimpangan ke kanan menuju Situ Patenggang maka jangan arahkan kendaraan kamu ke Situ Patenggang tapi lurus terus, sekitar 2 Km lagi kamu akan sampai di Kawah Rengganis yang terletak di sebelah kiri.

Untuk mencapai lokasi ini kamu bisa memakai kendaraan mobil atau motor karena jalan raya menuju lokasi ini cukup bagus dan baik. Namun ketika kamu telah sampai pada pos portal atau tiketing Kawah Rengganis kendaraan yang bisa masuk adalah hanya kendaraan roda dua/motor, memakai motor pun harus ekstra hati-hati karena jalanan yang menanjak dan berbatu cukup ekstrim. Lebih direkomendasikan untuk memakai motor trail/off road atau motor gigi agar lebih nyaman di kendarai. Jika tak ada motor kamu bisa memakai jasa ojek untuk mencapai lokasi namun jika ingin berolahraga lebih baik jalan kaki karena jaraknya hanya 1 Km saja dari pos tiketing menuju lokasi Kawah Rengganis. 

Harga Tiket Masuk Kawah Rengganis
Tak perlu merogoh kocek ratusan ribu untuk menikmati semua keindahan dari Kawah Rengganis, mandi air hangat, mencoba sauna alami hingga maskeran dengan lumpur hitam Kawah Rengganis. Tiket masuk geowisata (wisata bumi) ini hanya 5rb/orang saja. Cukup murah bukan?
Fasilitas Kawah Rengganis
Fasilitas yang disedikan di lokasi wisata Kawah Rengganis ini cukup lengkap. Terdapat kedai/warung dengan jajanan kampung yang menyediakan makanan seperti mie instan, gorengan, kue hingga minuman seperti kopi, teh atau minuman sachet yang bisa kamu nikmati. Jika ingin shalat juga terdapat mushola yang cukup besar dan terdapat toilet yang bisa dipakai kapan saja.
Di lokasi ini juga terdapat beberapa rumah warga yang menyatu dengan Kawah Rengganis ini, merekalah warga asli dari Kawah Rengganis yang telah tinggal disana puluhan tahun. Mereka sangat ramah kepada para pengunjung, kamu juga harus ramah yaa kepada mereka guys karena kita datang kesana sebagai tamu mereka. Sapa dan berikanlah senyum terbaik kamu kepada mereka yang tinggal disana. Hihii..
Jika kamu ingin mandi air hangat kamu bisa mandi di pancuran yang telah dibuat, airnya yang hangat membuat tubuhmu rileks dan kembali segar kembali, dan khasiat dari belerangnya pun sangat baik untuk kesehatan kulit terutama yang memiliki keluhan penyakit kulit. Keren kan? Subhanallah..
Dan untuk kamu yang mencintai dunia fotografi mungkin tempat ini bisa dijadikan tujuan kamu dalam mencari momen terbaik, banyak spot unik dan keren dengan formasi bebatuan dan kebulan asap yang keluar dari dasar tanah dan batu membuat fotomu semakin unik guys..

Gunung Sumbing







Gunung Sumbing via Garung

Basecamp Garung

 pendakian terletak hanya 400 meter dari tepi jalan raya, sekarang lebih masuk ke dalam, sekitar 1 kilometer terletak di kiri jalan desa. Basecamp pendakian gunung yang memiliki ketinggian 3371 mdpl ini, dikelola oleh organisasi masyarakat dusun Garung di bawah bendera Stickpala. Perubahan lainnya adalah adanya jalur pendakian baru. Untuk mendapatkan surat ijin mendaki, saya harus membayar Rp.12.500,-. Dengan membayar sejumlah itu, selain mendapat ijin mendaki, saya pun memperoleh peta pendakian beserta sebuah karung kecil untuk tempat sampah.

Jalan Menuju Basecamp

Peta Basecamp

       Untuk menghemat tenaga saya menyewa jasa ojek hingga ke Pos I dengan biaya Rp.25.000,-. Ada sedikit hal yang menurut saya lucu dan rupanya memang seperti itu. Saat saya sudah siap menaiki ojek, tukang ojek tersebut meminta keril yang saya pakai. Saya yang belum sepenuhnya paham mengikuti saja permintaan tukang ojek itu. Saya pikir dia (tukang ojek) mau meringankan beban saya sebagai bentuk servis plus nya. Tapi rupanya saya salah kira sebab selesai menyandangkan keril saya di punggungnya, ucapan dia berikutnya membuat saya kaget. "Ayo mas-nya naik di depan" katanya singkat. Sambil mengernyitkan dahi saya jawab, "saya di depan pak?! Ga salah?!". "Iya, mas-nya di depan, biar motornya ga standing pas di tanjakan". Akhirnya mau tidak mau saya mengikuti perintah tukang ojek, naik dan duduk di depan si tukang ojek. Dengan kedua kaki berpijak di blok mesin dan tangan berpegangan di bagian tengah stang, posisi saya duduk persis seperti anak kecil yang sedang naik sepeda roda tiga. Saya membatin dalam hati, "anehbanget sih cara tukang ojek disini ngangkut penumpang, gimana kalau penumpangnya cewe?...menang banyak nih...hehe".

Trail 1: Base Camp Garung - Malim.
Setelah sepuluh menit menyusuri jalanan desa selebar dua setengah meter yang terbuat dari batu-batu yang tersusun rapi dan membelah ladang penduduk, ojek yang saya tumpangi berhenti persis di depan Pos I Malim. Jika berjalan kaki, di perlukan waktu 75-120 menit untuk mencapai Pos I daribasecamp. Setelah saya membayar ongkos, ojek pun langsung berbalik arah dan kembali turun ke perkampungan. Ada dua orang pendaki asal Semarang yang sedang memasak sarapan saat saya tiba pagi itu. Dan saya pun menyempatkan diri berbincang-bincang sejenak. Setelah mengambil beberapa foto saya pun memulai pendakian tepat pukul 07.00. Berjalan santai sambil mengatur napas untuk mendapatkan ritme jalan yang nyaman. Matahari masih belum penuh menyinari jalur yang saya tapaki tetapi keringat sudah mulai bercucuran, yup, keringat ini akibat pengaruh jaketrunning yang saya kenakan. Jaket yang jadi andalan saya untuk mendukung Ultralight Style yang sedang saya gandrungi.
Jalur menuju Pos II ini relatif landai, dengan kontur tanah diselingi beberapa tanjakan yang cukup "lumayan".



Trail 2 : Pos I Malim - Pos 2 Genus
Dapat di capai dalam waktu lima puluh menit dengan berjalan santai. Saat saya tiba di Pos II Genus, ada 1 rombongan pendaki yang berkemah disini, mereka sedang dalam perjalanan turun. Pos II ini lokasinya cukup terlindung, dan merupakan pos yang paling rimbun vegetasinya. Pos ini cukup untuk membangun 5-6 tenda kapasitas empat. Setelah break selama lima menit plus mengambil foto, saya pun kembali melanjutkan perjalanan. Kondisi jalur selepas pos II masih relatif landai dan semakin berdebu. Jika ada yg menyulitkan selain tidak adanya sumber air di pendakian ini ya tebalnya debu. Belum turunnya hujan selama hampir lima bulan menjadi salah satu penyebabnya. Saya pun harus menggunakan masker agar sedikit terhindar dari debu. Dua puluh menit lepas pos II, saya tiba di area kecil seperti pos bayangan. Ada papan bertuliskan "Engkol-engkolan" menempel di salah satu pohon di sebelah kiri jalur. Saya lihat ke arah depan jalurnya masih tetap sama, landai dan berdebu. Saya berusaha menangkap arti kata "Engkol-engkolan" itu, sebab agak sedikit janggal bagi saya. Dalam pemahaman saya "Engkol-engkolan" bisa di artikan "gowes-gowesan" atau "genjot terus", dalam arti yg lebih simpel ya "jalan terus walau harus digenjot paksa". Saya benar-benar penasaran, dimana korelasi antara nama "Engkol-engkolan" dengan jalur pendakiannya. Dua menit kemudian rasa penasaran saya terjawab. Setelah meninggalkan papan nama tadi dan berjalan 30 meter, jalur membelok ke kanan. Persis di tengah jalur ada sebuah pohon yang cukup besar, di belakang pohon itu adalah jalur berikutnya yang harus saya lewati. Jalurnya sangat lebar, perpaduan tanah dan pasir dengan debu yang tetap tebal, hanya saja di tambah tanjakan curam sejauh kurang lebih 400 meter, tanpa bonus! Tanpa vegetasi!
Well, akhirnya kecurigaan saya terhadap papan nama "Engkol-engkolan" terjawab sudah. Mau tidak mau memang pendaki harus jalan terus walau kaki digenjot paksa agar bisa melewati tanjakan ini. Menurut saya, tanjakan ini salah satu bagian tersulit dalam mendaki gunung Sumbing. Persis di ujung tanjakan adalah awal puncak punggungan yang akan menjadi jalur pendakian selanjutnya.

Trail 3: Pos 2 Genus-Pos 3 Sedelupak Roto 
Saya hanya beristirahat 10 menit saja di Pos III setelah berhasil melewati tanjakan panjang itu. Nyaris satu jam waktu yang habiskan untuk menyelesaikan trail ini. Vegetasi di pos ini tidak rimbun, tetapi merupakan pos yang paling terlindung dari angin kencang jika dibanding dengan pos-pos selanjutnya. Areanya sangat luas dengan kontur tanah bercampur pasir. Meski udara terasa semakin panas, saya terus berjalan. Saya baru berhenti lagi dua puluh menit kemudian, di sebuah area terbuka.


Trail 4 : Sedelupak Roto - Pestan.
Pos IV Pestan. Merupakan pos ke empat dalam pendakian Sumbing via Garung yang berjarak dua puluh menit dari pos Sedelupak Roto. Area ini meski ideal untuk berkemah tapi sangat tidak di rekomendasikan untuk pendaki mendirikan tenda, sebab di area Pestan inilah paling beresiko badai dengan angin kencang.
Saya menunduk, menumpukan dahi saya ke ujung atas trekking pole yang berbantal kedua punggung tangan, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Entah sudah berapa kali saya seperti ini, rasanya setiap saya berhenti melangkah saya pasti menunduk bertumpu seperti ini. Dalam mendaki, saya memang tidak akan beristirahat dalam posisi duduk jika bukan di tempat yang memang menjadi target saya untuk beristirahat agak lama---agak lama versi saya itu lima belas hingga enam puluh menit. Pola istirahat hanya membungkuk tanpa duduk memudahkan saya menjaga ritme jalan yang nyaman. Menurut saya, jika setiap kali berhenti melangkah lalu istirahat dengan cara duduk akan membuat kita malas untuk melanjutkan perjalanan dan otomatis membuang waktu.
Trail 5 : Pestan - Pasar Watu


Menjelang Pasar Watu


Selepas pos IV, jalur berubah konturnya menjadi bebatuan besar bercampur sedikit pasir di bagian kanan dan setapak tanah berpasir di sebelah kiri. Area yang terbuka membuat jalur nampak jelas lurus ke atas tanpa belokan dan menanjak tanpa bonus dengan kemiringan 45°. Berjalan pelan namun pasti saya bergerak melewati langkah demi langkah sambil sesekali berhenti untuk mengatur napas. Panas terasa makin menyengat, padahal belum juga tengah hari. Setelah mencoba memperhatikan keadaan sekitar, saya melihat sebuah pohon Cantigi yang cukup rindang dan teduh di sebelah kanan jalur, persis di tepi sebuah jurang. Area datar di sekitarnya cukup ideal untuk saya beristirahat. Lima menit berselang, saya sudah asyik duduk bersandar di bawah pohon itu, sambil menikmati nasi bungkus yang saya beli subuh tadi di Terminal Mendolo Wonosobo. G-Shock saya menunjukkan pukul 10.30. Seperti biasanya, penyakit saya selalu kambuh saat selesai makan, akhirnya tidak ada pilihan lain selain merebahkan badan, memposisikan bodypack sebagai bantal dan kemudian...tidur. Sesaat sebelum benar-benar tidur saya sempat melirik Casio saya lagi, pukul 11.00, "cukuplah tidur setengah jam" gumam saya. Ternyata saya tidur pulas sekali, mungkin efek kurang tidur semalaman di bus. Jam menunjukkan pukul 11.50 saat saya terbangun. Bangun mendadak sontak membuat kepala saya pusing. Sambil menyandangkan kembali Appalachia 35L saya ke pundak, saya pun mulai bergerak melangkahkan kaki perlahan-lahan. Setiap 20 langkah saya berhenti sebentar untuk mengatur napas, karena istirahat yang terlalu lama tadi, saya kehilangan ritme jalan yang nyaman. Meskipun saya berjalan dengan pelan ternyata saya bisa mencapai Pos V Pasar Watu hanya dalam waktu tiga puluh menit. Di namakan Pasar Watu sebab di lokasi ini banyak berserak batu-batu besar, di tambah persis lurus dengan jalur terdapat bukit batu yang sangat besar, seperti memutus jalur pendakian. Dan memang untuk melanjutkan pendakian, para pendaki---termasuk saya---harus berjalan turun mengikuti setapak di sebelah kiri, berjalan melipir sisi bagian timur dari bukit batu besar itu. Saat melipir sisi kiri tersebut, kita harus lebih berhati-hati sebab di sebelah kiri kita adalah jurang. Jalur di sisi kiri bukit batu besar itu relatif datar, lumayan menjadi bonus. Setelah empat puluh meter, jalur kembali menanjak curam dan berbatu-batu tanpa bonus. Beruntung cuaca berubah mendung sehingga udara menjadi lebih sejuk.

Trail 6 : Pasar Watu - Watu Kotak
 Akhirnya pukul 12.50 saya pun tiba di Pos VI Watu Kotak, pos yang menjadi target saya untuk mendirikan tenda dan bermalam. Saya memilih lokasi yang berada sepuluh meter diatas Pos Watu Kotak untuk mendirikan tenda. Pos ini bukan area yang luas, maksimal hanya bisa untuk mendirikan 4-5 tenda saja. Sesuai namanya, terdapat batu kotak berukuran raksasa yang berdiri memanjang ke arah puncak. Terdapat sedikit ceruk menyerupai gua di sisi sebelah timur. Ceruk tersebut sering digunakan pendaki untuk berteduh atau berlindung dari terpaan angin. Dari pos ini, jika cuaca cerah, Gunung Sindoro, Prau dan Slamet sangat jelas terlihat. Umumnya pos ini menjadi targetcamp pendaki sebelum summit.


Trek menuju Watu Kotak, 5 menit pasca Pasar Watu

Saya selesai membangun tenda kurang lebih pukul 14.00. Kemudian memasak air dan menyeduh kopi untuk menghangatkan badan yang mulai dingin. Selesai berganti pakaian dan menunaikan shalat dzuhur, saya menggunakan sendal dan beranjak keluar untuk menikmati cuaca mendung disore ini. Sambil duduk di atas susunan batu-batu besar, menghadap ke arah timur laut, ke arah Sindoro, saya mulai menghirup kopi dari cangkir stainless yang saya bawa. Duuh...sungguh nikmat rasanya. Sambil ditemani biskuit sebagai camilan, saya terhanyut dalam suasana. Masih nampak jelas kepulan asap sisa-sisa kebakaran di Sindoro. Lereng atas di sisi jalur Tambi dan sebagian besar jalur Kledung nampak hitam. Sedih rasanya melihat tempat bermain saya begitu rupa. Tak banyak pendaki hari ini, bahkan tenda saya hanya berdiri sendiri di pos ini. Beruntunglah saya bisa memperoleh "kesunyian" ini. Beberapa titik air terasa menempel di wajah saya, membuyarkan lamunan, dan ternyata turun hujan, hujan pertama sejak lima bulan terakhir...Alhamdulillah...saya pun beringsut turun dari batu tempat saya duduk dan segera masuk ke dalam tenda untuk beristirahat.





Trail 7 : Watu Kotak - Puncak Sumbing
Pukul 19.00, hujan sudah reda, saya pun telah selesai makan malam. Sambil menyalakan lampu tenda, saya mencari posisi yang nyaman untuk tidur berbalut sleeping bag Gorillaz andalan. Setelah menyetel alarm pukul 3.30 saya pun terlelap, maklumlah saya benar-benar kurang istirahat. Sempat saya terbangun beberapa kali entah pukul berapa karena suara gaduh diluar. Sepertinya beberapa rombongan pendaki yang baru tiba dan akan mendirikan tenda juga dilokasi ini.
Meskipun harus terbangun beberapa kali namun secara keseluruhan, malam ini saya bisa beristirahat dengan maksimal. Seperti hari-hari biasanya, alarm gadget saya setia berbunyi pukul 03.30, membangunkan saya dari tidur yang tidak terlalu nyenyak. Dengan malas saya beranjak bangun, keluar dari hangatnya kantong tidur dan membiarkan pori-pori kulit bersentuhan dengan udara yang dingin di dini hari. Setelah menyalakan kompor dan menuangkan air untuk di masak, saya mengenakan jaket, kaos kaki dan headlamp. Setelahnya, saya menyeduh sereal dan makan mie goreng sisa semalam untuk pengisi perut sebelum summit. Bodypack saya isi dengan P3K, termos, cangkir, gula, biskuit dan teh. Pukul 04.40, setelah shalat subuh saya pun keluar tenda, menutup resletting dan menyalakan headlamp lalu mulai berjalan menuju puncak. Jalur awal dari Watu Kotak berupa tanjakan curam dengan kemiringan rata-rata 60°. Setiap beberapa langkah saya berhenti, memberikan kesempatan tubuh untuk beradaptasi dengan udara subuh. Tiga puluh menit kemudian saya tiba di Tanah Putih. Saya pun semakin bersemangat, sebab dengan telah di capainya Tanah Putih berarti puncak sudah sangat dekat. Di sebelah timur, semburat cahaya ungu bercampur oranye semakin jelas terlihat, menandakan sebentar lagi matahari akan terbit. Akhirnya setelah melewati satu tanjakan terjal saya tiba di pertigaan puncak. Karena tidak ingin melewatkan momen sunrise saya pun bergegas menuju ke arah kanan, ke puncak tertinggi Gunung Sumbing. Alhamdulillah, tepat pukul 05.40 saya berhasil menjejak titik tertinggi Gunung Sumbing 3371 mdpl. Sujud syukur serta menyebut asma Allah atas kesempatan yang telah di berikan untuk saya. Pagi ini cuaca sangat cerah, anginpun bertiup dengan lembut. Saya menikmati naiknya sang surya dari horison, di temani satu kotak biskuit dan secangkir teh manis panas. Di kanan saya kawah Sumbing tampak mengepulkan asapnya. Sayang, waktunya tidak mencukupi untuk saya turun dan meng-eksplor bagian kawah Sumbing. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 06.30, saya pun segera turun kembali menuju tenda untuk berkemas dan mengejar bus untuk pulang ke Jakarta.
#the End
Sampai jumpa di perjalanan berikutnya ya....:)
------------------------------------







#Rundown :
-Terminal Wonosobo - Pertigaan Garung 30-45 menit
-Pertigaan Garung - BC Pendakian
20 menit
-BC - Pos I Malim 75-90 menit
-Pos I Malim - Pos II Genus 45-75 menit
-Pos II Genus - Pos III Sedelupak Roto 45-80 menit
-Pos III Sedelupak Roto - Pos IV Pestan 15-30 menit
-Pos IV Pestan - Pos V Pasar Watu
30-45 menit
-Pos V Pasar Watu - Pos VI Watu Kotak 30-50 menit.
-Pos VI Watu Kotak - Puncak Sumbing 60-100 menit.

Total 5-8 jam
------------------------------------
#Biaya :
1. Bandung - Wonosobo Terminal Mendolo Rp.75.000 bus Sinar Jaya Eksekutif
2. Terminal Mendolo - Pertigaan Garung dg bus 3/4 tujuan Magelang Rp.10.000
3. Simaksi Rp.12.500
4. Logistik Rp.100.000
5. Lain-lain Rp.50.000
Total Rp Rp 332.500 .,-
------------------------------------


Dieng










Melakukan perjalanan spontan memang menarik dan seru. Dieng akhirnya menjadi pilihan buat saya untuk melepas penat sehabis nanjak dari SINDORO - SUMBING. Perjalanan kali ini lewat jalur wonosobo .
Setelah berkemas dari basecamp garung SUMBING akhirnya kami mencarter mobil untuk menuju terminal wonosobo dan berangkat menggunakan BUS 3/4 dari terminal wonosobo menuju dieng ,kurang lebih perjalanan dari wonosobo sekitar 3 jam akhirnya kami mampir di basecamp PRAU untuk beristirahat dan mengisi perut yang kosong.
.



  Berhubung belum pernah ke Petak Sembilan, saya pun memutuskan untuk camp di patak sembilan sambil melihat sunrise dan telaga warna waktu itu dieng masih sepi, dan tidak bayar lagi hehe 
                                         
.

.
                                       

                                  
.




.
Dieng masih tetap membuat saya kagum dengan keindahannya. Dan Tuhan memang Maha Cantik… Lihat saja Telaga Warna dan Telaga Pengilon juga Gunung Sindoro yang nampak dari Petak Sembilan. Memang paling menyenangkan kalau tempat itu dinikmati tanpa bagi – bagi dengan pengunjung lain , Perjalanan harus berakhir, sepertinya saya akan datang lagi dalam waktu dekat. Ayo ke Dieng…

Gunung Sindoro







 

 
 
 
* Sekilas tentang Gunung Sindoro.
Gunung Sindoro terletak di Propinsi Jawa Tengah, Indonesia. Temanggung adalah kabupaten terdekat dari Gunung Sindoro.Gunung Sindoro sering disebut juga Gunung Sindara atau Sundoro.
Gunung Sindoro adalah gunung aktif dengan ketinggian 3150MDPL.
Kubah lava baru terbentuk akibat erupsi tahun 2011.
Gunung Sindoro memiliki beberapa jalur pendakian. Jalir pendakian Gunung Sindoro via Kledung, Tambi, dan Sigedang. Namun, jalur pendakian yang sering dilewati adalah jalur pendakian Gunung Sindoro via Kledung.
 
*Reverensi Instagram

Transportasi Bandung - Gunung Sindoro : 
 
Terminal Cicaheum -  Terminal Wonosobo 75k

Terminal Wonosobo - Bus Jurusan Purwokerto (Turun di Ds.Kledung 10k

Ojeg Basecamp - Pos 1 10k
 
Simaksi 10k


Basecamp Gunung Sindoro Via Kledung

* Jalur pendakian Gunung Sindoro via Kledung.
1. Basecamp.
Basecamp Gunung Sindoro via Kledung terletak di kanan jalan Semarang-Purwokerto. Bangunan yang digunakan sebagai basecamp lumayan luas.
2. Pos 1 jalur pendakian Gunung Sindoro via Kledung.
Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai di Pos 1. Jalan yang dilalui masih datar dan terbuat dari tatanan bebatuan. Di kanan kiri jalan merupakan perkebunan warga yang ditanami tembakau dan sayuran.
 
3. Pos 2 jalur pendakian Gunung Sindoro via Kledung.
Dari Pos 1 jalanan mulai menanjak tetapi dengan kemiringan yang tidak terlalu curam bahkan terdapat beberapq titik yang datar dan menurun. Vegetasi yang dominan adalah pohon cemara. Jarak tempuh sekitar 1,5 jam untuk sampai di Pos 2.

4. Pos 3 jalur pendakian Gunung Sindoro via Kledung.
Perjalanan dari Pos 2 menuju Pos 3 mulai menanjak dengan kemiringan yang lumayan menguras tenaga. Vegetasi juga tidak jauh berbeda. Jalan yang dilalui sedikit berbatu dan melipir dipunggungan sebelah timur. Diperlukan kewaspadaan untuk menghindari kecelakaan. Perjalanan dari Pos 2 mebuju Pos 3 memerlukan waktu sekitar 1,5 jam. Biasanya pendaki membuka camp di Pos 3 ini.
 




Bangun Tenda

 

5. Pos 4 jalur pendakian Gunung Sindoro via Kledung.
Setelah beristirahat dengan mendirikan camp di Pos 3, biasanya pendaki melakukan summit attack pada dinihari. Barang bawaan ditinggal di Camp. Hal itu disebabkan medan dan kemiringan jalur pendakian lumayan terjal. Selepas dari Pos 3 anda akan melewati hutan lamtoro. Jalanan lumayan licin dan rusak dimusim penghujan. Sehingga diperlukan kewaspadaan ekstra.
Setelah melewati hutan lamtoro jalur pendakian mulai terbuka. Hanya didominasi oleh stepa dan tumbuham semak. Namun, beberapa tumbuhan edelweiss mulai nampak. Jalur pendakian berbatu dan sangat terjal. Tenaga kita akan terkuras disini. Setelah menempuh perjalanan 1,5-2 jam sampailah kita di Pos 4.
Hello Sumbing
                                    
6. Puncak Gunung Sindoro 3150MDPL.
Medan yang dilalui tak jauh berbeda dari pos 3-Pos 4. Jalanan yang dilalui masih menanjak dan berbatu. Tenaga kita benar-benar terkuras diperjalanan dari Pos 4 menuju Puncak Sindoro.
7. Puncak Gunung Sindoro 3150Mdpl.
Setelah berjalan sekitar 1-2 jam anda akan dihadiahi Puncak Sindoro dan pemandangan Gunung Sumbing apabila cuaca cerah.
Kaldera yang tidak begitu luas menganga ditengah-tengah area Puncak. Terlihat juga kepulan asap dan kubah lava baru ditengahnya.
 
 
 
Catatan :
-Perjalanan dari Pos 4 menuju Puncak gunakan slayer atau masker kain yang sebelumnya telah dibasahi menggunakan air. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir gas yang terhirup kedalam tubuh.
-Hati-hati dengan hewan liar terutama babi hutan. Apabila anda berniat membuat camp di Pos 3.